Apakah seorang muslim wajib memahami dan mengambil hukum2 Allah swt langsung dari AL Qur'an dan Sunnah & haram bertaqlid pada Madzhab Imam Mujtahid?
Berikut sedikit cuplikan dialog "debat" dalam kitab tersebut:
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum
Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan
Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam
mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat
terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya:
“Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam
bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka
sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam
bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda
menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab
tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani
menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang
bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti.
Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar
jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus
atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid,
kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi
bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan
berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan
kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para
imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi
pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan
Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab:
“Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang
taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu
membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat
pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara
taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti
seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja?
Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh
saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti
qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat
yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Al-Albani
menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya
kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab
asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia
juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari
fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua
ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua
qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima
alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami
sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang
muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain,
padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib
menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah
terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab:
“Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab
dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh
al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar
demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu
berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah
tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda
dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu
madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut,
orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
No comments:
Post a Comment