Para Ulama kaum muslimin, masa dulu ataupun belakangan, di Timur maupun di Barat, telah sepakat bahwa 'AT-TARKU' itu bukanlah suatu prinsip ataupun konsep untuk menyimpulkan dalil secara tersendiri. Metode yang digunakan oleh para Sahabat untuk menetapkan suatu syari'at itu menjadi wajib , sunnah, mubah, makruh, atau haram adalah mengikuti prinsip istinbath (penyimpulan hukum) dari dalil berdasarkan pada:
1. adanya nash dari Al Qur'an,
2. adanya nash dari Sunnah,
3. Ijma' (konsesnsus Ulama) atas suatu hukum,
4. Qiyas (silogis).
Para Ulama berbeda pendapat pada beberapa kaidah dalil untuk menetapkan hukum syari'at, antara lain:
1. pendapat Sahabat,
2. Sadd Adz-Dzari'ah,
3. Praktik penduduk Madinah,
4. Hadist Mursal,
5. Istihsan,
6. Hadist Dho'if, dan
7. prinsip-prinsip lain yang dipandang oleh para Ulama. Dalam semua ini tidak tertera 'AT TARKU' sebagai prinsip dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, 'AT TARKU' secara tersendiri tidak menunjukan suatu hukum syari'at. Ini adalah kesepakatan di antara kaum muslimin.
-Syeikh Ali Jumu'ah dalam buku Beliau "Ibadah-ibadah yang dipermasalahkan"-
1. adanya nash dari Al Qur'an,
2. adanya nash dari Sunnah,
3. Ijma' (konsesnsus Ulama) atas suatu hukum,
4. Qiyas (silogis).
Para Ulama berbeda pendapat pada beberapa kaidah dalil untuk menetapkan hukum syari'at, antara lain:
1. pendapat Sahabat,
2. Sadd Adz-Dzari'ah,
3. Praktik penduduk Madinah,
4. Hadist Mursal,
5. Istihsan,
6. Hadist Dho'if, dan
7. prinsip-prinsip lain yang dipandang oleh para Ulama. Dalam semua ini tidak tertera 'AT TARKU' sebagai prinsip dalam penetapan hukum.
Dengan demikian, 'AT TARKU' secara tersendiri tidak menunjukan suatu hukum syari'at. Ini adalah kesepakatan di antara kaum muslimin.
-Syeikh Ali Jumu'ah dalam buku Beliau "Ibadah-ibadah yang dipermasalahkan"-
No comments:
Post a Comment