Friday, November 15, 2013

Mensikapi peristiwa KARBALA yaitu terbunuhnya AL-HUSAIN

Kecintaan Kepada Allah Telah Menghancurkan Diriku, Telah Menyita Seluruh Hidupku dan Telah Membuat Diriku Cair Hingga Seluruh Dimensiku Lenyap ( Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad).
Itulah cinta sejati yg dilukiskan oleh Sohiburratib dalam bentuk syair dimana pencapaian spritualnya telah mencapai kedudukan sedemikian…dimanakah posisi kita?

الحبيب عبدالله بن علوي الحداد صاحب الراتب : و أما عاشوراء فإنما هو يوم حزن لا فرح فيه,من أجل أن قتل الحسين كان فيهكتاب تثبيت الفؤاد ج 2 ص 223
Al-Habib Abdullah Al-Haddad Shahibur Ratib: Dan adapun Asyuro’ sesungguhnya adalah hari kesedihan TIDAK ADA SAMA SEKALI KEGEMBIRAAN dikarenakan terbunuhnya Al-Husain di hari itu. (Tasbit al-Fuad Jld.2 Hal.223)

Tak kan bisa mencintai Allah sebelum mengenal dan mencintai Rasulullah Saw, takkan bisa mencintai Rasulullah saw sebelum mengenal dan mencintai ‘AHLUL BAITNYA”, sebagimana yang telah di firmankan-Nya : “ Katakanlah (wahai Muhammad kepada kaummu ), ‘Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada al-Qurba (Ahlul Bait).QS. Asy syuura’:23, dan 

madrasah “KARBALA” adalah pintu masuk utama untuk mengenal dan melabuhkan cinta kepada Ahlul Bait Nabi Saw, madrasah “KARBALA” adalah pintu pertemuan semua aliran dan mazhab di dalam Islam.

Dalam salah satu taushiyahnya, Guru Mulia Al Habib Umar Bin Hafidz menyinggung hal itu: 


Kita tentu bersedih dengan peristiwa terbunuhnya Al-Husain di hari Asyura. Orang yang berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain, jelas hal itu membuatnya menjadi seorang yang fasiq, bahkan bisa pada kekufuran. Akan tetapi, dalam beragama, sikap kita tidak didasari sifat tasya-um (pesimisme, sial, atau merasa tak berpengharapan, bersedih berkepanjangan karena peristiwa atau pandangan tertentu), tapi dengantafa-ul (optimisme, atau menanggapi secara positif segala sesuatu).Tasya-um, apalagi dalam bentuk-bentuk seperti mencaci maki, tidak ada tuntunannya dalam agama kita dan dalam peringatan-peringatan agama kita ini. Semua peringatan agama dalam agama kita didasari semangat optimisme dan membawa ketenangan di hati, seperti halnya peringatan Maulid, hari ‘Id, bulan Ramadhan, dan sebagainya.Kita memang tak boleh bersenang hati dengan terbunuhnya Al-Husain. Tetapi kita harus tetap wasth, moderat, sebagaimana fungsi agama yang sebenarnya. Kita tidak menyikapi Peristiwa Karbala dengan bersedih-sedih, karena hal itu bahkan bertentangan dengan apa yang dirasakan Imam Husain sendiri. Jelas, di hari itu Al-Husain sangat bahagia. Seandainya ditanyakan kepadanya hari yang paling membahagiakan baginya, niscaya jawabnya adalah hari di saat ia mendapati kesyahidannya, yaitu hari Asyura. Sebab, di hari itu derajatnya diangkat Allah SWT dan di hari itu pula ia berjumpa dengan kakeknya, Rasulullah SAW, ayahnya, Ali KW, ibundanya, Fathimatuzzahra, dan kakaknya, Al-Hasan. Karenanya, kita pun tidak memperingatinya dengan kesedihan. Adapun istilah lebaran anak yatim di hari Asyura itu berdasarkan hal-hal yang disunnahkan di hari itu, yaitu lewat riwayat-riwayat yang sudah termasyhur di tengah-tengah kaum muslimin. Di antaranya, melebihkan uang belanja keluarga, menyantuni dan menggembirakan anak yatim, dan sebagainya. Kesemuanya adalah hal-hal yang bersifat optimisme dan kebahagian di hati.Namun demikian, kalau di hari itu kita berbahagia karena terbunuhnya Al-Husain atau berpesta karenanya, itu tindakan yang bertentangan dengan akal sehat. Hendaknya, kita menempatkan semua nash agama pada tempatnya dan menyikapi setiap masalah secara proporsional.

No comments:

Post a Comment